Beberapa waktu lalu ketika saya kembali aktif di instagram (setelah dua kali kehilangan akun), saya bertemu dengan salah seorang public figure yang cukup banyak difollow oleh netizen di instagram. Karena direkomendasikan oleh instagram untuk difollow, saya kemudian melihat beberapa postingannya. Yang menarik adalah, dia menuliskan “style and sustainablity” dibagian profilnya. Tidak dipungkiri fashion dan stylenya sangat modis. Namun yang membuat saya memutuskan untuk mengikuti akun ini adalah apa yang dia bagikan difeednya. Saya cukup mengerti bahwa dia adalah public figure didunia fashion yang dapat memanfaatkan posisinya. Sustainable fashion, adalah hal yang selalu disampaikan disetiap postingan baik tersirat maupun secara langsung. Dan oleh karenanya saya mencoba belajar tentang sustainability.
Sesuatu yang sudah lama digembar-gemborkan. Tetapi sangat baru bagi saya, karena belum pernah mempelajarinya dengan mendalam. Bahkan ketika menulis ini pun belum dapat dikatakan saya mempelajari tentang sustainablity sampai ke detailnya. Saya hanya membaca beberapa artikel dan menonton beberapa video tentang hal ini. Namun yang memberanikan saya untuk menulis (sekalipun saya bukan penulis yang pro), adalah karena saya merasa menjadi bagian didalamnya.
Sustainability jika diterjemahkan dengan Google translate dan secara harafiah berarti keberlanjutan. Dengan menarik sedikit lebih dalam, makna sustainablity ini dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempertahankan pada tingkat tertentu. Sebelum saya membaca artikel tentang sustainability (keberlanjutan) yang terbayang hanyalah tentang kerusakan alam dan manusia. Tentu akan seperti itu yang dibayangkan jika belum menelisik secara mendalam. Kata keberlanjutan pasti akan erat hubungannya dengan lingkungan kemudian diikuti dengan polusi, perubahan iklim dst. Bukanlah sesuatu yang salah menggambarkan kata keberlanjutan dengan hal-hal tadi, karena hal tersebut memang termasuk dalam bagian keberlanjutan. Yang mengagetkan setelah membaca beberapa artikel tentang keberlanjutan, banyak aspek yang menjadi bagian didalamnya dan hal itu tidak pernah terpikir oleh saya, dan bahwa sustainability ini adalah suatu kesatuan yang sangat kompleks.
Alam adalah tempat manusia bergantung. Sebelum masa modern dimulai, manusia telah mengetahui bahwa alam mempunyai keterbatasan (limitations). Revolusi Industri yang dimulai pada 1700-an, kemajuan teknologi dalam bidang industri yang langsung diterapkan begitu saja pada alam, dengan perlahan namun pasti menggantikan pekerjaan manusia dengan mesin. Kemudian aktifitas insdustrial ini menjadi penggerak utama dalam perubahan sistem yang mengakibatkan sedikit ataupun banyak merusak alam. Mungkin jika tidak ada intervensi manusia, alam akan mampu menyeimbangkan dirinya sendiri ketika terjadi kerusakan, tetapi kegiatan industri dan teknologi yang semakin berkembang membuat sedikit kesulitan untuk alam menyembuhkan dirinya sendiri.
Sedikit cerita yang saya tuliskan diatas mungkin akan membuat teman-teman yang membaca ini semakin berpikir, sustainability adalah tentang alam dan tentang efek berbanding terbaliknya dengan teknologi, selesai. Saya pastikan tidak. Keberlanjutan sendiri terdiri dari tiga pilar, yaitu; ekonomi, sosial dan lingkungan. Atau secara informal sering disebut profits, people, planets.
Yang pertama ekonomi, adalah tentang permintaan dan penawaran. Ketika sektor bisnis memproduksi lebih dan ketika permintaan menjadi tinggi juga. Dari sisi permintaan, saat terjadi excess demand ini akan mengakibatkan masyarakat cenderung menjadi masyarakat yang konsumtif. Lalu dari sisi produsen, kebutuhan untuk memproduksi agar sepadan dengan jumlah permintaan membutuhkan sumber daya yang lebih banyak juga, dan tidak bisa dihindari kebutuhan sumber daya alam juga ikut meningkat. Isu terpenting dari sisi ekonomi ini adalah, mengontrol apa yang kita konsumsi (bukan hanya sekedar pangan saja, sandang dan papan serta keuntungan).
Kedua sosial. Sebagian dari kita mungkin telah menyadari tentang pentingnya jaminan yang didapatkan sebagai seorang pekerja. Contohnya, pengalaman saya ketika bekerja dulu, fasilitas yang diberikan berupa dana pensiun dan juga asuransi kesehatan. Tetapi pada kenyataannya belum secara merata perusahaan atau pihak pemberi pekerjaan menjalankan kewajiban untuk memberikan jaminan kepada pekerjanya. Di negara-negara maju, hal ini menjadi sesuatu yang penting, untuk memastikan jaminan kesehatan dan kesejahteraan para pekerja (apapun pekerjaannya) akan kualitas hidup mereka.
Pilar terakhir lingkungan. Pilar terakhir ini butuh perhatian lebih. Berbicara tentang lingkungan tentu akan membawa topik tentang masalah masa depan. Tentang ketersediaan sumber daya alam baik yang untuk dikonsumsi maupun yang tidak (sekalipun hampir semuanya berkaitan dengan yang dikonsumsi oleh manusia), tentang kelestarian flora dan fauna, tentang perubahan iklim dan seterusnya dan seterusnya. Inti yang membuat lingkungan menjadi salah satu bagian dari keberlanjutan adalah untuk melindunginya. Baik dengan cara mengurangi, penggunaan kembali serta pendauran ulang.
Keberlanjutan dengan segala cerita, sejarah dan banyak sudut pandang, membuatnya seakan-akan semakin sukar untuk diwujudkan. Kalimat ini adalah yang tersirat dalam benak saya. Dari sudut pandang saya secara pribadi ada dua kata yang dapat mencerminkan keberlanjutan, yaitu control dan balance. Bukan dalam artian, jika dalam keadaan yang terkontrol dan seimbang baru dapat dikatakan itu adalah keberlanjutan atau “nah itu baru namanya sustainability“, tidak. Pun upaya untuk menjaga keseimbangan, upaya untuk mengontrol dapat saya katakan sebagai keberlanjutan. Jika keadaan sudah dalam keadaan yang seimbang dan terkontrol, tentu damai sejahtera sudah turun dari sorga ke bumi ini. Saya merasa keberlanjutan yang sempurna itu tidak mungkin terjadi. Karena pasti akan ada kebocoran kecil atau kecolongan diaspek tertentu ketika kita mencoba untuk mengusahakan keberlanjutan itu. Mengupayakan dan mengusahakan harus tetap dilakukan. Bagaimana tidak, jika mengupayakan menuju keberlanjutan saja masih banyak ketidakseimbangan yang terjadi, apalagi tidak mengupayakannya sama sekali.
Ada banyak aspek dalam keberlanjutan yang sudah, sedang dan mulai diusahakan. Bagian inilah yang saya katakan diparagraf ke-3 dengan menyebutnya kompleks. Bilamana kita mengusahakan satu aspek tanpa mengelola keseluruhannya, sama artinya dengan kita mengurangi kesatuan yang menunjang keutuhan dikeberlanjutan dan akan berakhir dengan ketidakseimbangan. Sebagai contoh misalnya; ada perumahan yang dibangun bagus dengan menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan, sumber listriknya menggunakan panel surya namun akses untuk pergi ke sekolah, ke wilayah perkantoran sangat jauh sehingga membutuhkan waktu dan bahan bakar yang lebih. Artinya sumbangan polusi dari kendaraan bertambah. Disinilah yang pada akhirnya terjadi ketidakseimbangan, padahal kita sedang mengusahakan keberlanjutan diaspek lain.
Contoh lain misalnya, pakaian. Karena saya perempuan masalah ini sering terjadi pada saya (juga saya yakin terjadi pada teman-teman perempuan lainnya). Sering ketika mendapatkan undangan pernikahan teman, saya sibuk menyiapkan apa yang harus saya pakai ke kondangan nanti. Yang kemudian mengarahkan saya untuk mencari baju baru, merasa ‘aduh nggak punya baju yang pantes’. Padahal dilemari masih ada cukup pakaian yang layak untuk dipakai ke kondangan. Demikian juga ketika merencanakan untuk pergi liburan, ‘nanti kalau sampai pakai baju ini, karena besok pergi ke tempat ini kostumnya pakai yang ini‘ dan begitu seterusnya. Pakaian yang tadi kita beli akan menumpuk dilemari pada akhirnya. Entah kapan akan bisa dipakai lagi. Dan jika pola tadi berulang, membuat kita menjadi masyarakat yang konsumtif (saya sedang menguranginya dengan berpuasa membeli pakaian dari awal tahun ini). Dan jika boleh beropini lebih dalam menyoroti dari pilar sosialnya, kita pasti tidak pernah (karena saya pun begitu, tetapi mungkin sebagian yang ada) memikirkan apakah para pekerja pembuat pakaian mendapatkan upah dan jaminan yang layak dari toko tempat kita membeli pakaian tadi.
Yang ingin saya sampaikan tentang sustainability menurut pendapat saya adalah; merasa cukup. Memang standar kecukupan bagi saya dan anda serta orang lain pasti berbeda. Tetapi yang saya maksudkan disini adalah merasa cukup dengan apa yang kita punyai, bukan merasa cukup kalau aku bisa beli ini beli itu. Saya teringat dengan kata-kata yang disampaikan dosen saya ketika kuliah dahulu, “keinginan dan kebutuhan itu berbeda”. Sepertinya kata-kata tersebut bisa saya kaitkan ini dengan konsep merasa cukup tadi.
Mungkin terkadang kita merasa ikut memikirkan bahasan seperti ini bukanlah porsi pembicaraan yang tepat untuk dibahas. “Untuk apa? Aduh, jangan sok-sokan!” Tetapi yang perlu kita sadari, sok-sokan ataupun tidak sok-sokan, peduli ataupun tidak peduli, saya, anda, kita semua berada disuatu kesatuan yang kompleks ini. Memberi pengaruh dan berperan didalamnya, sebagai protagonis dan antagonis.
thanks to; chloehelenmiles, enviromentalscience, Systems Innovation, yourmatter.world