
Bahasan ini cukup sensitif untuk dibicarakan tapi sejak jadi dewasa (umurnya) aku merasa, suka nggak suka, tabu nggak tabu, penting nggak penting hal yang mau aku bahas kali ini banyak dan sering terjadi dilingkungan sekitar. TMI but, aku juga pernah ngerasain hal ini.
Kita lahir dan hidup di dunia ini, bisa kubilang ada plus minusnya. Buat kita yang percaya dengan adanya Tuhan dan beragama -aku nggak tahu ya pendapat temen-temen yang mungkin tidak mempercayai adanya Tuhan, tentang hidup di dunia sebagai seorang manusia itu gimana- dikasih hidup oleh Tuhan itu adalah anugerah. Aku setuju. Tapi minusnya, hidup itu capek gila. Jangan dengan naif temen-temen yang baca ini berargumen dengan bilang ‘tapi Tuhan itu udah memberikan kita hidup loh. nggak boleh ngomong gitu!’. Silahkan temen-temen jawab pertanyaan ini, apa mau tulis dibagian komentar atau dijawab didalam hati juga nggak masalah, hidup itu capek nggak?
Kalau aku sih yes. Dari hal kecil yang sudah jadi rutinitas, hingga pekerjaan-pekerjaan baru yang bikin makin capek. Aku sebagai manusia nggak bisa begitu saja meng-kamuflasekan rasa capekku dengan kata-kata manis sebagai penghiburan ke diriku sendiri. Beberapa kali ya begitu. Tetapi dengan bertambahnya umur dan pengalaman hidup (yang sebenarnya masih sedikit juga sih) aku mencoba untuk berusaha jujur ke diriku sendiri.
Lalu, kalau kita menyadari bahwa hidup itu capek kenapa mau lanjut untuk hidup? Menurut pendapat pribadiku nih, karena ada harapan dan oleh karenanya kita berharap. Harapan (n): sesuatu yang dapat diharapkan; keinginan supaya menjadi kenyataan, berharap (v): berkeinginan supaya terjadi; meminta supaya. Begitu artinya menurut KBBI. Kalau dalam bahasa Inggris ada tiga kata yang kalau di google translate-kan artinya juga harap atau berharap. Wish, hope, expect. Tapi ternyata setelah baca artikel ada perbedaan diantara ketiganya. Yaitu tentang seberapa kemungkinan itu bisa terwujud.
Wish, mengharap sesuatu tapi sangat sulit atau bisa jadi nggak mungkin terjadi. Hope, kita punya kemampuan untuk membuatnya terwujud tapi ada sesuatu yang bikin kita ragu. Lalu yang terakhir expect, mengharapkan sesuatu yang bisa diperkirakan akan terwujud atau pasti akan terwujud. Dan kurasa kita semua pernah merasakan berada diposisi pada ketiga kata itu.
We wish, hope, expect something to happen in our life, the good one for sure.
Dengan adanya harapan dan kita berharap pasti kan kita berharap yang baik-baik, yang bagus-bagus. Tapi sering kita lupakan juga, adanya kemungkinan untuk harapan itu meleset atau bahkan nggak terwujud. Misal aku kasih contoh aku sendiri deh, aku sedang merencanakan pernikahan nih sama pacar aku. Tentu harapannya aku bisa menikah sesuai dengan yang kita rencanakan. Tapi nggak ada yang tahu kan apakah akan begitu jadinya, atau mungkin bahkan ternyata, nggak jadi nikah.
Hus! Jangan ngomong gitu! Kata-kata itu juga doa lho, jangan ngawur!
Maaf.. aku terlalu realistis berpikirnya. Karena menurutku, kalau orang berdoa itu kan nggak pernah meminta ke Tuhan apa yang nggak diharapkan, jadi ya untuk aku biasa aja sih omongan tadi. Karena pada kenyataannya, I need to count that possibility in.
Kemungkinan terjadinya ‘kemelesetan’ dari apa yang kita harapkan sedikit banyak akan berefek ke diri kita. Jadi gini, kita berharap A. Nah ada dua kemungkinan kan antara ‘ya’ apa yang kita harapkan terwujud, atau ‘tidak’. Dua kemungkinan ini PASTI. Kalau ‘ya’ terjadi, efek ke kitanya seneng dong kan sesuai sama yang kita harapkan. Kalau ‘tidak’?
Pastinya kecewa. Hanya seberapa kecewa dan berapa lama rasa kecewa itu tinggal dipikiran dan hati kita itu yang jadi masalah. Aku baru selesai baca bukunya Regis Machdy yang judulnya Loving the Wounded Soul, dan beruntungnya aku baca buku itu waktu nulis ini. Dibuku itu diceritakan kalau setiap orang punya hal tertentu (Mas Regis bilang dibukunya disebut stressor) yang men-trigger kita untuk berpotensi mengalami depresi. Dan bisa jadi, rasa kecewa tadi salah satunya. Mengerikannya depresi bisa menuntun pikiran seseorang untuk memilih keputusan menyelesaikan hidup. Temen-temen bisa baca bukunya karena disana dibahas detail dari sisi keilmuan dan juga pengalaman pribadinya Mas Regis sendiri.
Diawal aku sampaikan kalau aku pernah mengalami hal ini sebelumnya. Pernah mengalami masa tidak bisa berharap dan nggak ada yang diharapkan. Masa dimana berusaha rasanya udah nggak berguna. Ngapain juga, orang nggak ada hasil? Dan keadaan ini cukup berlarut-larut. Capek hati, capek pikiran, capek fisik juga. Apa ya, mungkin kalau digambarin waktu itu item. Item tapi bukan warna hitam, cuman item yang kosong? Kira-kira begitu.
Terus apa yang bikin aku bisa balik jadi manusia lagi?
Kebetulan karena aku orang yang percaya adanya Tuhan (dan memeluk satu agama tertentu juga) jadi aku juga percaya konsep Tuhan yang Mahakuasa. Tuhan bisa melakukan apapun yang Dia kehendaki. Pas aku ingat kalau aku percaya konsep itu, aku merasa bersalah. Bukan merasa bersalah ke diriku sendiri karena aku udah nggak bisa berharap, tapi aku merasa bersalah banget ke Tuhan. Kenapa, aku yang menyatakan diri sebagai orang yang percaya ke Tuhan, bisa-bisanya nggak punya harapan dan nggak bisa lagi berharap? Rasanya itu adalah hal yang paling meremehkan Tuhan atau ekstrimnya nggak nganggep Tuhan ada. Kesadaran itu yang bikin aku sejadi-jadinya minta maaf ke Tuhan (jadi waktu doa syafaat aku ngomong sendiri ke Tuhan, nggak dengerin bapak pendetanya doa apa).
Mungkin ada yang pernah atau sedang mengalami masa yang sama, namun dengan masalah yang berbeda. Coba bertahanlah, mungkin kalian bukan orang yang percaya adanya Tuhan seperti aku, jadi nggak bisa kusarankan untuk mengingat Tuhan sebagai Yang Mahakuasa. Tapi coba bertahan untuk diri kalian sendiri mungkin juga bertahan untuk peliharaannya kalian? Not bad tho kkkkk
Buat aku hidup itu pahit macem kopi nggak pakai gula yang tiap pagi kuminum, tapi sesekali aku juga beli ice cream kok untuk ngerasain gimana manisnya :’)
need to put credit to: Kampung Inggris untuk artikelnya dan Regis Machdy karena baca Loving the Wounded Soul disaat yang tepat.